Ombudsman NTT Beberken Modus Korupsi Pengadaan Barang Jasa Pemerintah

oleh -52 views
oleh
Kepala Ombudsman Perwakilan NTT, Darius Beda Daton

BERANDAWARGA.COM— Secara umum modus korupsi pengadaan barang jasa pemerintah mencakup delapan aspek ang sangat erat kaitannya dengan konflik kepentingan para pihak yang terlibat di dalamnya.

Kepala Ombudsman Perwakilan NTT, Darius Beda Daton menjelaskan, pada Kamis, 19 Januari 2023, dirinya menghadiri undangan LSM Bengkel APPeK NTT dan Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam rangka diskusi terbatas hasil penelitian studi kasus konflik kepentingan pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Penelitian ini mengambil sampel Proyek pengadaan pembangunan NTT Fair dan monumen Pancasila oleh Pemerintah Provinsi NTT tahun 2018 silam.

Adapun temuan sementara dalam penelitian ini adalah bahwa kedua proyek ini ditemukan relasi kuasa konflik kepentingan vertikal maupun horisontal antara penyedia dengan pengguna anggaran/kuasa pengguna anggarann (PA/KPA) dan pejabat pembuat komitmen (PPK).

“Pada kesempatan tersebut saya menyampaikan bahwa  perihal konflik kepentingan dalam pengadaan barang jasa pemerintah selalu kita dengar. Meski demikian untuk membuktikan apakah ceritera itu benar adanya tidak mudah. Karena proses pengadaan via tender dan seleksi berjalan by aplikasi,” kata Darius..

Secara umum modus korupsi pengadaan barang jasa pemerintah sebagai berikut, pertama; pengaturan pemenang. Pemenang sudah diatur sebelumnya antara KPA dan panitia/pejabat  pengadaan dengan penyedia. Proses pengadaan hanya formalitas.

Kedua, pinjam bendera perusahaan lain. Yang punya bendera bukan pelaksana proyek tetapi hanya mendapatkan fee atas kesepakatan bersama.

Ketiga,pemenang tanda tangan kontrak tetapi pekerjaan disub- kontrak kepada pihak lain.

Keempat, suap atau pemberiaan komitmen fee oleh penyedia dengan besaran yang disepakati bersama kepada KPA, ketua panitia dan pejabat lelang.

Kelima, pekerjaan tidak sesuai spesifikasi teknis. PPK tidak cek harga pasar untuk reviuw harga perkiraan sendiri (HPS). HPS di-mark up mendekati harga penawaran.

Keenam, pengadaan fiktif dan tidak sesuai kebutuhan. Ketujuh, persekongkolan antar penyedia. Kedelapan, pekerjaan belum selesai namun pembayaran sudah dilakukan 100 persen.

“Pada forum tersebut saya menyampaikan beberapa upaya pencegahan yang mesti terus-menerus dilakukan guna meminimalisir terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang jasa pemerintah,” papar Darius.

Beberapa aspek yang perlu dilaksanakan adalah, pertama, peningkatan kualitas SDM pejabat pengadaan barang jasa. Kedua, meningkatkan peran Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) guna melakukan pendampingan maupun pengawasan pelaksanaan. Hal ini bisa dilakukan dengan permohonan PPK kepada inspektorat untuk melakukan probity audit sebagai mitigasi resiko mulai dari perencanaan.

Ketiga, pendampingan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP). Keempat, penerimaan komisi atau fee dari pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) mesti tercatat sebagai lain-lain PAD yang sah.

Hal ini diatur jelas dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pasal 31 ayat (4) huruf h Peraturan Pemerintah ini menyatakan; “Lain-lain PAD yang sah adalah penerimaan komisi, potongan, atau bentuk lain sebagai akibat penjualan, tukar menukar, hibah, asuransi, dan atau pengadaan barang dan jasa termasuk penerimaan atau penerimaan lain sebagai akibat penyimpanan uang pada bank, penerimaan dari hasil pemanfaatan barang daerah atau dari kegiatan lainnya”.

Jika selama ini pendapatan dari sumber komisi atau fee semua proyek yang telah dilaksanakan belum atau tidak tercatat atau fee/komisi tersebut diberikan namun tidak disetor sebagai pendapatan daerah alias masuk ke kantong-kantong pribadi maka soal komitmen fee proyek tersebut sudah saatnya perlu diatur agar disetor ke kas daerah guna dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan daerah. (BW//**/tan)