Model Pengembangan Ekonomi Berkeadilan GMIT Sejalan dengan Kondisi Kekinian

oleh -67 views
oleh
Susana pelaksanaan Persidangan Sinode GMIT XXXV Tahun 2023 di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur

SEBA, BERANDAWARGA.COM— Model pengembangan ekonomi berkeadilan bagi Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) sejalan dengan dampak dan kondisi yang terjadisaat ini yang diakibatkan oleh berbagai disrupsi dan gangguan keamanan akibat perang yang tengah terjadi di eropa dan timur tengah.

Ketua Majelis Klasis Sulamu, Pendeta Yunus Kay Tulang menyampaikan, satu hal menarik dan menjadi isu yang paling utama baik secara global,nasional maupun lokal adalah isu dan masalah sosial ekonomi yang dihadapi di tengah perubahan dan gejolak keamanan dunia saat ini.

Kitab Mikha yang diambil menjadi tema persidangan dan periodisasi Sinode GMIT kali ini, mendorong keselarasan hidup antara ritual dan kepedulian sosial,seperti yang telah disampaikan dalam suara Gembala Ketua Majelis Sinode GMIT 2020- 2023 saat acara pembukaan.

Pendeta Merry Kollimon mengingatkan GMIT bahwa cinta kasih kepada Tuhan pertama- tama adalah beribadah kepada- Nya tetapi serempak dengan itu harus menjadi gereja yang melakukan keadilan, baik keadilan sosial, ekonomi, maupun ekologis.

“Dalam konteks nas Mikha itu, saya coba menyambungkan isu dan permasalahan sosial ekonomi yang dialami dunia dan segenap bangsa termasuk GMIT hari ini bahwa GMIT sudah harus mampu membaca zaman dan berinisiatif untuk membangun keselarasan hidup dan berkeadilan dalam ekonomi secara berjemaat dalam lingkupnya masing- masing,” kata Pdt. Yunus mengomentari pelaksanaan Persidangan Sinode GMIT XXXV Tahun 2023 di Kabupaten Sabu Raijua, Jumat (20/10/2023).

Menurutnya, perubahan dan disrupsi ini juga memberikan dampak sosial ekonomi yang sedang terjadi di dunia dan di GMIT.

Di Klasis Sulamu, pihaknya sedang bergumul dan berusaha membangun keselarasan dan kolaborasi antar gereja dan jemaat bersama mitra pemerintah, perbankan/ koperasi dan NGO yang memiliki visi yang sama di bidang pemberdayaan dan pemulihan ekonomi.

Selanjutnya, Klasis Sulamu berupaya mengimplementasikannya sehingga menjadi lebih konkrit untuk menjawab kebutuhan dan keadilan bagi lembaga gereja dan dan jemaat.

“GMIT bisa memulainya dengan membangun dan menyepakati pemahaman bersama tentang “diakonia” bukan saja sebagai cara berbagi kasih atau sekedar memberi bantuan, tapi perlu diubah mindset bersama (transformasi) bahwa diakonia adalah tanda kehadiran gereja di tengah jemaat,pemerintah dan masyarakat,” tandas Pdt. Yunus.

Ia menambahkan, jika gereja adalah simbol keselamatan dan keadilan, maka diakonia harus menjadi perwujudan simbol itu secara tepat dan konkrit. (bw//**/oni)