Cakupan Kepesertaan JKN di Ngada 88,48 Persen

oleh -12 views
oleh
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng membawakan materi pada kegiatan sosialisasi bersama BPJS Kesehatan Kabupaten Ngada bertempat di Kantor Camat Bajawa, Rabu (17/7/2024)

BAJAWA, BERANDA-WARGA.COM— Kabupaten Ngada merupakan kabupaten dengan cakupan jaminan kesehatan terendah di Provinsi Nusa Tenggara Timur atau belum mencapai Universal Health Coverage (UHC) dengan cakupan kepesertaan 88,48 persen.

Hal ini disampaikan anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng pada kegiatan sosialisasi bersama BPJS Kesehatan Kabupaten Ngada bertempat di Kantor Camat Bajawa dengan tema ‘Reaktivasi dan Optimalisasi Kepesertaan JKN serta Monitoring Kesiapan Implementasi KRIS, Rabu (17/7/2024).

Ia menyampaikan, sekitar 19.726 ribu masyarakat Kabupaten Ngada yang kepesertaan BPJS Kesehatannya tidak aktif. Dari dimensi layanan Kabupaten Ngada memiliki potensi yang cukup dengan infrastruktur berupa rumah sakit dan puskesmas, yang menjadi potensi layanan kesehatan untuk dioptimalkan.

“Rumah sakit di Ngada perlu diatensi dalam transisi menuju implementasi kamar rawat inap standar (KRIS),” kata Robert.

Ia menyampaikan, Ombudsman RI yang memiliki kewenangan untuk mengawasi pelayanan publik terdorong untuk melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah, BPJS Kesehatan, penyedia layanan kesehatan di Kabupaten Ngada.

Koordinasi yang dimaksud dilaksanakan dalam kegiatan dialog dengan pemerintah daerah dan sosialisasi kepada masyarakat untuk optimalisasi kepesertaan JKN dan supervisi layanan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan.

Robert menjelaskan, hak atas pelayanan kesehatan merupakan hak konstitusional setiap warga negara Indonesia. Kewajiban negara untuk memberikan jaminan sosial dan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat berjalan sesuai dengan perintah UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU 17/2023 tentang Kesehatan.

Dalam kerangka global, kapasitas Cakupan Kesehatan Semesta (Universal Health Coverage) menerjemahkan pemenuhan hak masyarakat atas kesehatan harus tercakup dalam tiga dimensi, yakni dimensi cakupan populasi/kepesertaan, pelayanan kesehatan inklusif dan proteksi pembiayaan kesehatan. Kerangka ini juga diratifikasi oleh Indonesia dan diterjemahkan dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) dan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

“Optimalisasi kepesertaan BPJS Kesehatan meningkat cukup signifikan sejak program JKN dijalankan. Per Januari 2024 persentase UHC nasional sudah mencapai 95,09 persen. Namun disisi lain kepesertaan BPJS Kesehatan non-aktif menjadi masalah kompleks yang tidak dapat diabaikan,” ungkap Robert.

Data menunjukkan per Februari 2024, jumlah peserta non-aktif se-Indonesia mencapai 54,7 juta peserta JKN. Artinya 54,7 juta masyarakat Indonesia yang sedang dalam kondisi yang tidak terlindungi hak kesehatannya.

Meskipun cakupan kepesertaan/populasi BPJS Kesehatan sudah cukup siginifikan, namun akselerasi dimensi layanan kesehatan untuk peserta BPJS Kesehatan masih mengalami maladministrasi.

Pada tahun 2023, Ombudsman RI menerima 216 laporan substansi kesehatan, yang di antaranya laporan diskriminasi layanan kesehatan terhadap peserta JKN. Maladministrasi pelayanan kesehatan terhadap peserta JKN tentu saja pada ujungnya menggerus kepercayaan masyarakat terhadap program Jaminan Kesehatan Nasional.

Persoalan ini dapat berdampak secara makro yakni terhambatnya tujuan Indonesia untuk mencapai target UHC 98 persen pada tahun 2025. Maka, untuk mencapai UHC secara komprehensif, diperlukan langkah strategis untuk mengakselerasi dimensi-dimensi UHC (proteksi pembiayaan kesehatan, layanan kesehatan dan cakupan populasi) secara bersamaan tanpa meninggalkan satu pun.

Di sisi lain, kebijakan Perpres 59/2024 tentang KRIS tentunya mendorong transformasi layanan kesehatan di rumah sakit. Namun dalam implementasinya pemenuhan sarana/prasarana rumah sakit. menjadi hal mendasar untuk suksesi KRIS. Survei Kemenkes di tahun 2023 menunjukkan dari 3.122 rumah sakit di Indonesia, hanya 306 rumah sakit yang sudah memenuhi standar untuk implementasi KRIS.

Kondisi ini tentunya membutuhkan koordinasi dan dukungan pemerintah daerah. Dengan harapan pemerintah daerah juga mendorong kesiapan rumah sakit memenuhi fasilitas dasar agar siap memenuhi standar layanan sesuai Perpres 59/2024.

“Perlu revitalisasi kepesertaan JKN yang non- aktif dan optimalisasi perlindungan pembiayaan kesehatan pada masyarakat yang belum tercakup kepesertaan JKN,” ujar Robert.

Menanggapi rendahnya cakupan UHC Kabupaten Ngada, Wakil Bupati Ngada, Raimundus Bena menyampaikan, Pemda membutuhkan anggaran sebesar Rp16 miliar untuk membiayai kesehatan seluruh warga Ngada.

Saat ini Pemda Ngada baru bisa mengalokasi anggaran sebesar Rp8 miliar sehingga masih banyak warga yang belum dijamin atau menjadi peserta mandiri BPJS. (BW//**)