Asean Summit dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia
(Oleh: Darius Beda Daton)
Data Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) NTT menunjukkan pada 2022 terdapat 106 Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal NTT pulang dalam peti mati sebagai jenasah dengan berbagai sebab.
Dengan jumlah itu, NTT setidaknya menerima satu kiriman jenazah PMI setiap empat hari. Dari jumlah itu, hanya satu yang berangkat sesuai prosedur, sedangkan sisanya ilegal.
104 orang di antaranya bekerja di Malaysia, satu orang di Singapura, dan sisanya bekerja di Gabon, Afrika.
Pada 2021, ada 121 PMI pulang sebagai jenazah, sementara pada 2020 ada 87 orang, 2019 ada 119 orang dan 2018 ada 105 orang.
Dalam 5 tahun terakhir, sedikitnya 657 PMI asal NTT pulang dalam peti mati dan semuanya berasal dari negara ASEAN. Mereka pekerja illegal dan bisa diduga menjadi korban perdagangan orang.
Jumlah ini belum termasuk mereka yang dimakamkan di negara perantauan.
Angka ini menempatkan NTT di peringkat lima provinsi terbesar yang menyumbang jumlah PMI dari sejumlah sektor yang meninggal dunia, menurut data BP2MI.
Bayangkan, lebih dari 85 % korban perdagangan orang dipergadangkan dalam kawasan ASEAN.
Menurut perkiraan, perdagangan manusia sekarang menjadi salah satu kejahatan terorganisir paling menguntungkan di dunia karena menghasilkan lebih dari $150 miliar per tahun. 25 juta orang diantaranya berada di asia timur.
Karena itu, momen ASEAN Summit-42 di Labuan Bajo harus menjadi ajang pembicaraan serius terkait peran penuntasan permasalahan tersebut oleh negara-negara ASEAN.
Diperlukan kesepakatan perluasan elemen perangkat hukum yang lebih tegas dan keras untuk menjamin kepastian penanganan masalah tersebut.
Selain diperlukan komitmen bersama negara-negara ASEAN, tentu kita memerlukan pembenahan sistem pelayanan para calon PMI di dalam negeri.
Menjaga pintu-pintu keluar NTT bukan pekerjaan mudah sebab NTT memiliki 22 kabupaten/kota, 3.026 desa, 15 bandara dan 8 pelabuhan laut. Butuh energi dan biaya yang sangat banyak untuk menjaga semua pintu keluar.
Sebagai orang yang sehari-hari bekerja pada lembaga pengawas pelayanan publik yang antara lain dibentuk oleh negara untuk tujuan meningkatkan mutu pelayanan pemerintah, saya merasa perlu dan berkewajiban memberi masukan kepada pemerintah, utamanya terkait jaminan pemenuhan hak pekerja migran dalam keseluruhan kegiatan sebelum bekerja guna memberikan pelindungan sejak pendaftaran sampai pemberangkatan.
Pelindungan sebelum bekerja dimaksud adalah berupa pelindungan administratif kelengkapan dan keabsahan dokumen penempatan, penetapan kondisi dan syarat kerja.
Sedangkan perlindungan teknis berupa peningkatan kualitas calon PMI melalui pendidikan dan pelatihan kerja dan pelayanan penempatan di layanan terpadu satu atap penempatan dan pelindungan PMI.
Beberapa saran dimaksud antara lain, Pertama; optimalisasi kantor Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) Perlindungan dan pelayanan pekerja migran NTT yang saat ini telah terbentuk di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Saat ini LTSA baru ada di Maumere, Kota Kupang, Kabupaten Kupang dan Tambolaka. LTSA ini dibentuk guna memberi kepastian dan kemudahan dalam pelayanan ketenagakerjaan, terutama pelayanan pekerja migran NTT ke luar negeri.
LTSA melayani urusan TKI secara terpadu dari Kemenaker, Dinas Kesehatan Dukcapil meliputi berbagai pengurusan izin sepertiyang berkaitan dengan KTP, Ditjen Imigrasi, Kepolisian, BNP3TKI, BPJS Ketenagakerjaan dan Dinas Tenaga Kerja.
LTSA adalah bentuk komitmen pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada pekerja migran secara optimal.
Keberadaan LTSA akan membuat pelayanan pengurusan dokumen pekerja migran menjadi murah, mudah, cepat, dan mencegah adanya pekerja migran yang unprosedural, illegal, dan trafficking.
Pembentukan LTSA adalah amanat UU nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan PMI yang merupakan revisi terhadap UU nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.
Kedua; memaksa seluruh perusahaan penempatan PMI untuk membuka atau bekerjasama dengan Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLK LN) yang berada di di NTT untuk melakukan pendidikan dan pelatihan calon pekerja migran.
Bagi yang menolak, izin usahanya bisa dicabut karena kewenangan memberi izin kantor cabang perusahaan penempatan pekerja migran ada pada gubernur.
Hal ini penting guna memudahkan pengawasan selama pendidikan dan pelatihan berlangsung.
Saat ini, NTT baru memiliki beberapa BLK swasta dan pemerintah yang siap menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi calon pekerja migran NTT yang ingin ke luar negeri namun masih terpusat di Kupang dan belum menyebar ke pulau lain yang menjadi kantong tenaga kerja.
BLK yang ada perlu dimonitor lagi agar benar- benar memenuhi syarat sebagai BLK sebagaimana diatur Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor: 8 Tahun 2017 tentang Standar BLK.***