GMIT Harus Mampu Optimalkan Keragaman Potensi

oleh -65 views
oleh
Suasana penyelenggaraan Persidangan Sinode XXXV tahun 2023 di Sabu Raijua

SEBA, BERANDAWARGA.COM— Sebagai nahkoda kapal/bahtera, GMIT hari ini tidak sekedar membutuhkan kecakapan tapi juga ada harapan yang kuat atas tuntunan Tuhan untuk bisa berlabuh di setiap persinggahan gereja dan jemaat dalam menyelesaikan berbagai tantangan dan mengoptimalkan keragaman potensi yang ada.

Harapan ini disampaikan salah satu calon MS anggota bidang ekonomi, Dkn Ivan Raymond Rondo kepada para Pemimpin Majelis Sinode GMIT periode 2024- 2027 hasil Persidangan Sinode XXXV tahun 2023 di Kabupaten Sabu Raijua.

Harapan tersebut menanggapi berbagai isu krusial yang sementara dihadapi dunia, negara termasuk Nusa Tenggara Timur dengan berbagai perubahan dan disrupsi yang melanda sampai pada tingkat gereja dan jemaat, khususnya di bidang ekonomi.

Menurut Ivan, tentu semua orang menyadari bahwa dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, dunia secara merata dihantam tiga mega disrupsi yaitu pandemi covid- 19, revolusi industri 4.0, serta perubahan iklim ditambah konflik perang Rusia- Ukraina dan Israel- Hamas.

Mega disrupsi ini bukan saja mencipakan perubahan- perubahan di mana- mana, tapi juga ikut menghadirkan multikrisis di berbagai bidang yang sangat berdampak pada kehidupan sosial ekonomi sebuah negara yang mana secara langsung dirasakan gereja dan jemaat GMIT hari ini.

“Bagi saya, dalam kondisi ini, sangat dibutuhkan sebuah mindset yang baru untuk keluar dari pola kerja yang lama lantas bertransformasi dengan berkolaborasi dan bersinergi untuk menghasilkan berbagai inovasi dalam rangka menjaga ketahanan ekonomi dan terus membaharuinya untuk peningkatan dan keberlanjutannya. Kita bisa melihat bahwa pandemi covid telah menciptakan perubahan pola kehidupan sehari- hari, antara lain lambatnya ekonomi, peningkatan kemiskinan, penurunan kesehatan,” kata Ivan.

Lebih lanjut calon anggota DPD RI pada pemilu 2024 mengungkapkan, namun di sisi lain pun pandemic covid telah menghadirkan model ekonomi baru yang dikenal hari ini sebagai new normal economy yang memiliki tiga ciri khas, yaitu sirkular, berbagi, dan regeneratif.

Ciri regeneratif ini muncul dari masa new normal, yang memaksa upaya- upaya menumbuhkan keanekaragaman hayati, karena meningkatnya kepedulian masyarakat akan pentingnya mengonsumsi makanan- makanan sehat dan berbasis biodiversitas yang dimiliki.

Sebagai contoh, masyarakat menanam kelor bukan saja dikarenakan nilai ekonomisnya pada industri dan pasar, tapi juga sebagai upaya untuk mencegah stunting dan mall-nutrisi.

Perubahan iklim dengan anomali curah hujan, bencana dan resiko gagal panen bahkan gagal tanam, serta dampaknya pada lingkungan dan pertanian pun menciptakan efek domino bagi sosial ekonomi masyarakat serta menyumbang kenaikan angka stunting, mall- nutrisi, serta sejumlah penyakit lainnya, kekeringan  begitupun krisis energi.

Menariknya, mega dirupsi ini pun telah menghadirkan model dan konsepsi ekonomi baru yaitu blue and green economy yaitu upaya peningkatan kehidupan sosial ekonomi dengan segenap langkah mengoptimalkan sumber daya alam yang tidak berhenti pada menjaga keberlanjutannya, namun juga regenerasi dan hilirisasi.

Sebagai contoh, adanya upaya hilirisasi budidaya rumput laut untuk menghasilkan produk-produk turunannya di sektor industri dan UMKM serta upaya- upaya para pelaku budidaya menggunakan peralatan produksi ramah lingkungan serta bebas sampah plastik.

Terakhir, mega disrupsi Revolusi 4.0 yaitu munculnya pekerjaan baru, dan hilangnya sejumlah pekerjaan serta pentingnya kompetensi baru yang mengedepankan future skill (keahlian masa depan) yang didapat melalui reskilling, upskilling, dan new skilling.

Pada sektor ini telah menghadirkan model ekonomi baru yaitu sharing economy yang memiliki ciri menciptakan nilai tambah (value creation/creative and digit economy), dapat diakses online, berbasis komunitas, bisa dikonsumsi, dan dimanfaatkan bersama.

Model ekonomi ini mengurangi kebutuhan kepemilikan bagi para pelaku dan meningkatkan konsumsi kolaboratif. Sebagai contoh, memanfaatkan kecanggihan internet  dan platform digital untuk membangun ekosistem ekonomi digital sebagai ruang pemasaran dan transaksi serta mendorong tumbuhnya ekosistem ekonomi kreatif (orange/gig economy) berbasis industri kreatif yang bisa di pelopori milenial dan gen Z gereja dengan membangkitkan semangat enterprenurship pendeta dan jemaat.

“Dampak dan peluang dari mega disrupsi yang saya sampaikan ini tentunya dapat menjadi perhatian dan insight bagi Majelis Sinode GMIT periode 2024- 2027 untuk bertransformasi dalam merancang berbagai program dan kegiatan- kegiatan pemberdayaan berbasis potensi untuk pemulihan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan, serta bagaimana GMIT sebagai salah satu pemangku kepentingan  terbesar di NTT,” terang Ivan.

Ia menambahkan, selain itu bisa mengambil peran sebagai agregator untuk mempelopori kolaborasi dan membangun sinergitas bersama pemangku kepentingan lainnya yaitu pemerintah, swasta, media, komunitas, akademisi dan lembaga keuangan/perbankan dalam membangun model ekosistem ekonomi berbasis gerejawi di NTT.(bw//**/oni)