BELU, BERANDA-WARGA.COM— Karya kemanusiaan yang dijalankan Mgr. Gabriel Manek baik saat menjadi Uskup Larantuka di zaman penjajahan Jepang maupun di Amerika menjadi inspirasi bagi calon gubernur nomor urut 3, Simon Petrus Kamlasi (SPK) dalam melayani rakyat NTT.
Inspirasi itu diperoleh SPK ketika mengunjungi kediaman masa kecil Mgr. Gabriel Yohanes Wilhelmus Manek, SVD di Lahurus, Kabupaten Belu di sela- sela safari politiknya di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).
Memasuki lokasi yang dijaga dan dikelola para suster tarekat Putri Reinha Rosari (PRR) itu, SPK tampak kagum akan keasrian dan keindahan tempat tinggal keluarga uskup pribumi kedua di Indonesia sekaligus uskup pertama asal NTT, yang kini jadi lokasi wisata rohani tersebut.
Setelah istirahat sejenak, SPK yang didampingi istri tercinta, Ester Meilany Siregar, Ketua Tim Pemenangan Kristo Blasin, Ketua Dewan Syuro PKB Kota Kupang, Daniel Hurek, dan Sekretaris Partai NasDem Belu langsung diajak berkeliling oleh tokoh masyarakat Belu, Anton Bele.
Tempat pertama yang dikunjungi adalah Rumah Doa/Kapela Mgr. Gabriel Manek. Di kapela tersebut, SPK bersama istri sempat melihat dan memberi hormat pada foto reliqui Mgr. Gabriel Manek yang dipajang di bagian depan ruangan kapela.
“Ini tempat untuk orang datang berdoa, menyampaikan ujud- ujudnya, sambil menghormati Mgr. Gabriel Manek. Di sini tempat beliau lahir 113 tahun yang lalu,” terang Anton Bele.
Ketika dimintai tanggapan oleh Anton Bele mengenai tempat yang dikunjungi, SPK mengatakan, sejak masuk di lokasi tempat tinggal Mgr. Gabriel Manek, dirinya merasakan aura positif yang sangat kuat.
“Ketika saya mendengar cerita tentang orang suci ini, yang meskipun sudah puluhan tahun meninggal tapi jenazahnya masih tetap utuh, saya yakin ada kekuatan ilahi yang besar yang menyertainya. Maka tidak ada salahnya kita datang ke sini untuk merasakan aura positif itu. Saya juga yakin apa yang terjadi di beliau ini ada campur tangan dan berkat yang luar biasa dari Yang Maha Kuasa. Saya juga ingin menjadi penyalur berkat seperti beliau, untuk semua rakyat NTT,” ungkap SPK.
Mata Air Ailomea
Setelah dari kapela, rombongan diajak untuk melihat sumber mata air Ailomea, yaitu sumber mata air segar dan diyakini dapat membawa penyembuhan. Sumber mata air itulah yang dahulu dipakai keluarga Mgr. Gabriel Manek SVD pada masa kecilnya untuk kehidupan sehari- hari.
Anton Bele mengatakan, mata air tersebut kini dimanfaatkan banyak orang untuk menjadi sarana berdoa, juga sarana bagi banyak orang untuk mendapatkan rahmat kesembuhan. Meski demikian, air itu bukanlah jimat untuk mengusir setan atau seolah- olah menjadi sumber kekuatan.
“Itu tidak boleh sama sekali,” tegas Anton Bele.
Menanggapi penjelasan dimaksud, SPK menyampaikan, melihat kondisi mata air yang ada dengan sumber mata air yang tak pernah kering ini, hal itu menjadi inspirasi untuk menciptakan kondisi alam yang seperti itu di seluruh NTT.
“Kita harus tanam pohon- pohon seperti yang ada di sekitar mata air ini. Nanti ke depan, sudah pasti anak- cucu kita akan menikmati mata air yang jernih dan bersih seperti ini. Kita harus ciptakan banyak tempat yang seperti ini di seluruh NTT,” ujar SPK.
Kemudian, SPK bersama isteri dan rombongan membasuh muka di tempat itu dan meminum air langsung dari kran air yang ada di tempat itu.
“Ini gaya minum air kami di kampung dulu,” kata SPK usai minum air segar langsung dari mata air Ailomea.
Setelah dari mata air Ailomea, SPK bersama rombongan pun berpamitan pulang dengan membawa inspirasi yang kuat tentang teladan kemanusiaan dan kepemimpinan Mgr. Gabriel Manek, SVD.
Tentang Mgr. Gabriel Manek
Mgr. Gabriel Manek, SVD, lahir di Lahurus, Kabupaten Belu, 18 Agustus 1913. Ia adalah putra bungsu pasangan Lay Piang Siu dan Liu Keu Moy, keturunan Tionghoa.
Karena ibunya meninggal saat ia masih kecil, Gabriel Manek diangkat oleh Maria Belak, istri raja kerajaan Taifeto, Don Kaitanus da Costa. Karena itulah Gabriel Manek punya kesempatan mengenyam pendidikan.
Raja Don dan istrinya memiliki kecintaan terhadap devosi kepada Bunda Maria, sehingga hal itu juga diajarkan kepada Gabriel. Orang tua angkat ini mendidiknya dengan sangat baik hingga dewasa.
Setelah tamat Sekolah Rakyat (SR), Gabriel Manek melanjutkan pendidikan di Seminari Sikka- Maumere, lalu masuk novisiat Kongregasi Serikat Sabda Allah (SVD) pada 16 Oktober 1933.
Gabriel ditahbiskan sebagai imam pribumi pertama di Nusa Tenggara pada 28 Januari 1941. Pada 25 April 1951, Gabriel ditahbiskan menjadi uskup Keuskupan Larantuka dalam usia 38 tahun.
Bersama Suster Anfrida, SSpS, Mgr. Gabriel Manek kemudian mendirikan Kongregasi Putri Reinha Rosari (PRR) di Larantuka, Flores Timur.
Sepuluh tahun menjadi Uskup Larantuka, Mgr. Gabriel Manek ditugaskan menjadi uskup di Keuskupan Agung Ende.
Lalu Mgr. Gabriel Manek mengundurkan diri dan menjadi Uskup Agung Emeritus karena alasan kesehatan. Mgr. Gabriel kemudian berangkat ke Amerika untuk menjalani pengobatan.
Setelah kondisi kesehatannya membaik, Mgr. Gabriel Manek melayani Komunitas Negro di St. Patrick Ouklans Amerika Serikat. Pada 30 November 1989, Mgr. Gabriel Manek SVD menghembuskan nafas terakhir dan dimakamkan di Amerika Serikat.
Jenazah Tetap Utuh
Saat merayakan HUT ke- 50 kongregasi, Pimpinan PRR mengajukan permohonan kepada Generalat SVD untuk membawa pulang kerangka jenazah Mgr. Gabriel Manek ke Indonesia. Permohonan itu akhirnya dikabulkan.
Ketika makam Mgr. Gabriel Manek digali pada 14 April 2007, jenazah dan peti mati yang terkubur selama 17 tahun ternyata masih tetap utuh meskipun tanpa diawetkan. Jenazahnya kemudian dimakamkan kembali di Biara PRR Lebao pada 25 April 2007.
Hingga kini, jenazah Mgr. Gabriel disemayamkan di Kapela Induk di Biara Pusat Tarekat PRR di Lebao, Larantuka. Makam ini menjadi wisata rohani bagi umat di wilayah Larantuka dan sekitarnya.
Kisah Pelayanan dan Kesaksian Orang
Setelah ditahbiskan menjadi imam, Pastor Gabriel Manek ditugaskan melayani 72.000 umat Katolik dari Flores Timur hingga Alor.
Ia melayani umat hingga ke pelosok, dengan berjalan kaki, menunggang kuda, maupun menyeberangi lautan dengan perahu kecil. Ia sangat peduli terhadap orang kecil dan menderita.
Pada masa penjajahan Jepang (1942- 1946) Pastor Gabriel Manek menjadi satu- satunya pastor di seluruh Flores Timur, karena pastor lainnya ditawan tentara Jepang.
Saat itu banyak penderita kusta diasingkan di Tanjung Naga, Lembata. Mereka dibiarkan tanpa perhatian dan kasih sayang.
Pastor Manek mengunjungi penderita kusta hingga perbuatannya diketahui tentara Jepang dan akhirnya dia diinterogasi.
Tak hanya itu, perahu yang merupakan alat transportasi menyeberangi pulau pun dibakar. Tapi hal itu tak memadamkan semangatnya. Kuda adalah salah satu transportasi yang digunakan Pastor Gabriel Manek SVD melayani umat di pelosok.
Gembala Bagi Suku Indian
Selama tinggal di Amerika Serikat, Uskup Manek menjadi gembala bagi suku Indian di Arizona.
“Mgr. Gabriel Manek memperlakukan orang Indian seperti saudaranya sendiri. Bahkan Suku Navajos mengangkat dia menjadi kepala suku mereka,” jelas Ann Dwinnel yang melayani dan merawatnya selama di Amerika, dikutip dari Katolikana.com.
Cinta yang sangat besar kepada orang kecil membuatnya makin bersemangat melayani hingga terbaring lemah karena sakit.
“Sekali dalam seratus tahun, lahir orang macam dia, karena itu tidak rugi mengenal dia. Dia sungguh seorang yang agung dan seorang santo yang hidup,” demikian kesaksian Pastor Weber, pastor vikaris Paroki Our Lady of Carmel di Denver.
Pimpinan umum Serikat Suster Cabrini Shrine bersaksi bahwa Mgr. Gabriel Manek adalah orang saleh. “He is very holy,” ujarnya.
“Seandainya suatu waktu kita merasa sendirian, dikhianati, dan ditinggalkan oleh orang yang kita kasihi, kita hanya perlu membayangkan Yesus saat- saat menderita. Sebab kalau kita ingat pengalaman penderitaan Yesus, kita menjadi kuat,” pesan Mgr. Gabriel Manek kepada para Suster PRR. (bw//***)