KUPANG, BERANDA-WARGA.COM— Provinsi Nusa Tenggara Timur sering dibanggakan karena religiusitasnya, dimana salib berdiri di setiap kampong dan doa bergema setiap pagi.
“Tapi di balik semua itu, ada ironi yang tak bisa dibantah; tiga dari empat narapidana di NTT adalah pelaku kejahatan asusila. Bukan koruptor, bukan pencuri, tapi pemerkosa,” kata Kepala Ombudsman RI Perwakilan NTT, Darius Beda Daton, Selasa (8/4/2025).
Lebih lanjut ia menyatakan, lebih memilukan lagi, sebagian besar dari mereka adalah ayah, paman, tetangga. Orang-orang yang seharusnya melindungi, justru melukai, di rumah- rumah yang semestinya dianggap suci.
“Ini bukan hanya soal hukum. Ini luka moral yang menganga,” tandas Darius.
Bukan Karena Miskin, Tapi Karena Diam
Darius menyatakan, menyikapi tingginya kasus kriminal dimaksud, sebagian mungkin buru- buru berkata sebagai sebuah kewajaran karena memang mereka miskin.
Tapi statistik berkata lain, pasalnya mayoritas pelaku bukan orang kelaparan. Mereka punya pekerjaan, punya kehormatan, bahkan beberapa adalah aparat.
“Jadi ini bukan soal nasi. Ini soal diamnya komunitas ketika kejahatan terjadi. Ini tentang tetangga yang tahu tapi tak bicara. Tentang adat yang lebih peduli jaga nama baik daripada jaga masa depan anak- anak,” papar Darius.
Agama Tak Lagi Menjadi Tembok
Menurut Darius, meski NTT adalah rumah bagi jutaan umat Kristen, tapi ayat- ayat suci belum cukup menahan tangan yang menjelma kejam.
Nilai adat yang dulu sakral kini kalah oleh konten media, arus migrasi, dan budaya permisif yang tumbuh di ruang- ruang tak terkontrol.
“Kita religius, tapi tidak bermoral. Kita adat, tapi lupa nilai,” ujar Darius mengutip penuturan seorang pastor di Kupang dalam homili Paskah.
Ia meminta semua pihak untuk berhenti mengatakan bahwa aspek budaya ‘sudah biasa’ dan ‘malu bicara soal seks’ yang menjadi selimut busuk untuk kekerasan.
“Kita perlu edukasi seks yang benar, bukan tabu serta sistem pelaporan yang mudah, aman, dan cepat. Hukum yang tak takut dengan ‘nama baik’ dan dukungan nyata bagi korban,” tandas Darius.
Ia menyatakan, anak- anak diajarkan untuk berkata ‘tidak’- bahkan kepada orang serumah. Karena jika tidak, kita sedang menumbuhkan generasi baru yang terluka dan mewarisi luka. Dan ketika luka diwariskan, kekerasan jadi budaya,” ujar Darius.
Ia menambahkan, paradoks ini tidak akan selesai dengan doa saja, tapi dengan keberanian untuk melihat, bicara, dan bertindak. (bw//***)