KUPANG, BERANDA-WARGA.COM— Ketua Komisi IV DPRD NTT, Patris Lali Wolo mempertanyakan penetapan lokus pelaksanaan program energi baru terbarukan (ETB) yang ditangani Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) NTT yang tidak mengkaji secara komprehensif ratio elektrifikasi di provinsi bercirikan kepulauan ini.
Catatan kritis ini disampaikan Patris saat rapat dengat pendapat Komisi IV dengna mitra Dinas ESDM NTT di ruang rapat komisi itu, Jumat (7/3/2025).
Politisi PDI Perjuangan ini mempertanyakan, apakah ratio elektrifikasi Kabupaten Rote Ndao, Sabu Raijua, dan pulau Sumba paling kecil di seluruh NTT sehingga dalam kurun waktu dua tahun berturut- turut program ETB diarahkan ke daerah- daerah tersebut. Ironi memang ketika lembaga dewan tidak dilibatkan dalam perencanaan atau pembahasan, tapi tiba- tiba sudah muncul lokus pelaksanaan program dimaksud.
“Kasihan juga daerah kami yang gelap sampai sekarang. Memang dari dulu mau terang tapi tidak bisa terwujud. Mudah-mudahan dengan dasacita yang ada, ratio elektrifikasi kita bisa capai 100 persen atau setidak- tidaknya mendekati angka tersebut,” kata Patris.
Menurutnya, daerah- daerah lain seperti di Ngada dan Nagekeo juga belum menikmati listrik. Misalkan daerah wisata yang berbatasan dengan Manggarai Timur yakni Riung dan Riung Barat sampai sekarang masih gelap.
“Saya baru pulang dari daerah itu dan menyaksikan ketiadaan listrik di sana. Untuk kebutuhan penerangan, mereka memakai aki. Bila tahun ini tidak dianggarkan, tapi setidaknya tahun depan. Ini tentang keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Sehingga di bagian perencanaan punya rasa keadila untuk 22 kabupaten/kota di NTT,” papar Patris.
Pencapaian ratio elektrifikasi juga termasuk program meteren listrik gratis dan pembangkit listrik tenaga surya atau sejenisnya.
Koordinasi dengan PLN
Pada kesempatan itu Patris berharap Dinas ESDM untuk berkoordinasi dengan PT PLN (Persero). Pasalnya ketika masyarakat desa secara swadaya membuka jalan desa seperti peningkatan atau rabat yang di dalamnya ada fasilitas publik (tiang listrik), untuk memindahkannya dibebankan kepada masyarakat desa.
Sementara desa tidak memiliki petunjuk dari Kemendes PDTT untuk menggunakan anggaran bila menemukan permasalahan dimaksud. Ini yang membuat masyarakat desa alami kesulitan terkait pembukaan jalan desa.
“Kira- kira adakah solusi dalam mengatasi persoalan semacam itu. Jangan sampai gara- gara tiang listrik, jalannya tidak bisa dibuka padahal aksesnya untuk pertumbuhan ekonomi dan kepetingan masyarakat banyak,” tandas Patris.
Anggaran yang Pincang
Patris mengingatkan Dinas ESDM agar pagu anggaran dan alokasi belanja yang ditetapkan bukan semata- mata karena adanya efisiensi atau kondisi keuangan yang minim. Pasalnya komposisi belanja publik yang dialokasikan sangat kecil.
Untuk cabang Dinas ESDM, semula ditetapkan anggaran sebesar Rp2,4 miliar. Tapi setelah dilakukan rasionalisasi efisiensi sebesar Rp1,2 miliar sehingga dana yang dikelola untuk belanja publik dan gaji pegawai tersisa Rp1,2 miliar. Namun bila dipersentasekan, 92 persen untuk belanja pemerintah, dan 7,5 persen belanja publik.
“Postur anggaran seperti ini tentunya pincang sekali. Semestinya komposisinya seimbang antara belanja publik dan belanja pemerintah yakni 50:50 atau paling sedikit 70:30,” tegas Patris.
Ia berargumen, dalam desain anggaran hendaknya mampu menerjemahkan hastacita dan dasacita. Karena jika rationya di bawah 10 persen, tentunya sangat kecil. Kondisi ini memang tidak bisa dielak, tapi mau tidak mau harus dibiayai. Ini juga menjadi catatan bersama bagaimana memformulasikan perencanaan pembangunan untuk daerah.
Ia meminta Dinas ESDM agar bisa meraih atau bila perlu melampaui target pendapatan yang telah ditetapkan tahun ini sebesar Rp120 juta yang berasal dari pelbagai sumber seperti galian C dan non logam.
“Sebagai mitra kerja, Komisi IV mendorong Dinas ESDM untuk mengoptimalisasi pendapatan yang telah ditetapkan, bila perlu realisasinya bisa melampaui target,” imbuh Patris. (bw//***)