“Mari hadir besok dan lusa untuk karya kreatif anak muda NTT, termasuk untuk teman- teman difabel karena akan ada juru bahasa isyarat. Ini gratis, karena PRF juga adil untuk semua,” ajak Yurgen.
Simpasio Institute Larantuka, Flores Timur, Magdalena Oa Eda Tukan menjelaskan, krisis ekologi dan perubahan iklim adalah masalah bersama. Pihaknya punya cara ampuh untuk menyuarakan ini sesuai cara anak muda.
Tidak Berjalan Sendirian
Ia meyakini,walau dari Larantuka tapi tidak berjalan sendirian. Karena ada ratusan komunitas di NTT yang sudah melakukan aksi secara terus- menerus melalui sudut pandang budaya dan alam, seperti dari tutur cerita hidup bersama harmonis dengan alam atau dongeng. Ini yang perlu dijaga dan dilestarikan. Jangan sampai budaya nenek moyang berhenti.
“Ketika kita menyadari tidak sendirian, suara kita makin keras dan bisa didengar. PRF adalah kesempatan baik membuat suara anak muda NTT bisa diamplifikasi dan didengar, termasuk oleh anak- anak muda Indonesia di luar NTT, dalam berbagai bentuk produk kreatif,” imbuh Magdalena.
VCA Country Engagement Manager, Yayasan Humanis dan Inovasi (Hivos) Indonesia, Arti Indallah Tjakranegara menambahkan, ketika bicara tentang perubahan iklim, dirinya selalu ingat dengan kutipan : manusia, bukan hanya emisi karbon, seharusnya menjadi pusat dari aksi iklim.
Dan, solusi iklim berbasis lokal adalah ujung tombak penanganan krisis iklim karena sesuai dengan karakter daerah, menjawab kebutuhan masyarakat, dan mengurangi risiko upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang tidak tepat.
Partisipasi kita semua sebagai masyarakat sungguh berarti, khususnya dari mereka yang paling terkena dampak, seperti kelompok perempuan, anak muda, dan kelompok marjinal lainnya. PRF adalah sarana menyuarakan aksi dari kita, oleh kita, untuk kita, menjadi ruang belajar yang inspiratif, dan terinspirasi mereplikasi aksi tersebut,” tutup Arti Indallah .(berandawarga.com//**/tan)